PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM)
SECERCAH HARAPAN
PERUBAHAN
Pada sisi yang
lain, sebuah perubahan paradigma tengah terjadi di rumah “tetangga dekatnya”
Perum Perhutani, BUMN yang selama puluhan tahun berinteraksi dengan masyarakat
desa hutan. Pasang surut interaksi keduanya tampak jelas dalam keberhasilan dan
kegagalan berbagai program yang dijalankan sejak tahun 1970.
Sejak diluncurkan
pada akhir 2001, PHBM sebagai sebuah sistem bergulir diantara keyakinan dan
keraguan akan keberhasilannya. Kondisi demikian sangat berpengaruh
terhadap keberhasilan implementasinya. Banyak pihak yang kurang memahami
konsepsi yang sebenarnya dari PHBM. Sampai saat ini, kurangnya pemahaman
tersebut masih tampak, baik di kalangan internal aparatur Perum Perhutani
maupun di kalangan eksternal.
Di kalangan
internal, kesungguhan aparatur atau petugas Perhutani belum maksimal dan masih
terdapat keraguan dan pertanyaan dalam mengimplementasikan PHBM sesuai dengan
konsepsi yang sebenarnya. Banyak hal yang menjadi penyebabnya, salah satu
diantaranya adalah PHBM dipahami bukan sebagai sebuah sistem, akan tetapi
sebagai sebuah program. Sebagian merasa khawatir bahwa PHBM akan bernasib sama
dengan program-program yang pernah dimiliki oleh Perhutani sejak 1970 hingga
2001, yakni memiliki tingkat keberhasilan yang tidak optimal dan selalu
berganti-ganti judul. Apalagi, dalam PHBM ini Perhutani harus merelakan
25 % bagian hasil produksinya untuk diserahkan kepada masyarakat desa
hutan. Bahkan, ada pula kalangan internal yang memiliki phobia irasional
yang memandang PHBM sebagai upaya membesarkan anak macan dan membahayakan
eksistensi Perum Perhutani ke depan.
Sementara itu,
bagi pihak eksternal PHBM masih terkesan program milik Perhutani, belum
terbangun sebagai bagian integral dan internalisasi dalam sistem pembangunan
hutan dan daerah secara umum. Padahal, pemahaman internal dan eksternal
ini justru merupakan titik kritis dari keberhasilan implementasi PHBM.
Dalam perjalanan
saya di batas-batas hutan Jawa dan Madura sepanjang tahun 2006, saya melihat
bahwa implementasi PHBM memiliki tingkat keberhasilan yang beragam. Di
satu daerah PHBM berdampak sangat mengagumkan bagi pembangunan dan pemberdayaan
masyarakat desa hutan. PHBM telah nyata-nyata memberikan kontribusi yang sangat
besar bagi masyarakat di sekitar hutan dengan nilai konversi fisik lebih dari 2
Trilyun rupiah per tahun. Belum termasuk nilai kemanfaatan ekologis yang
tidak terukur.
Namun di daerah
lainnya, PHBM berkembang sangat lambat dan bahkan ada pula yang “layu sebelum
berkembang“. Beberapa diantaranya, berada pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan
dan terkesan dibiarkan untuk tidak tumbuh dan berkembang dengan baik.
Uniknya, perbedaan dampak yang ditimbulkan PHBM itu, selaras dengan tingkat
pemahaman dan sinergi para pelakunya.
Saya meyakini
bahwa desa hutan memiliki potensi yang sangat besar sebagai Jembatan Emas bagi
tercapainya cita-cita Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia ,
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Kata kuncinya adalah
bagaimana membentuk sinergi multi pihak dalam mewujudkan keberhasilan
implementasi PHBM.
Harus jujur diakui
bahwa di beberapa tempat, implementasi PHBM telah menjadi stimulator bagi
meningkatnya keberdayaan masyarakat desa hutan yang ditunjukkan dengan
kemandirian dalam membangun sarana fisik maupun non fisik, berkembangnya
kreativitas sosial dan ekonomi dalam berbagai sisi kehidupan masyarakat desa
hutan, meningkatkan kemampuan memotret diri dan berjalannya proses kematangan
demokrasi berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal serta terjaganya fungsi
ekologis kelestarian dalam pengelolaan sumberdaya hutan.
Keberhasilan
implementasi PHBM berpotensi untuk memberikan sumbangan yang sangat berharga
bagi upaya mewujudkan cita-cita bangsa dan negara, khususnya percepatan
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa hutan. Sumbangan tersebut
berupa munculnya 3 sumber energi sebagai dampak dari implementasi PHBM yakni,
dana bagi hasil produksi, optimalisasi ruang kelola dan sinergi kelembagaan
lintas sektoral. Sumber energi tersebut seharusnya dapat digunakan
masyarakat desa hutan dalam mewujudkan harapannya, memiliki tingkat
kesejahteraan yang lebih baik. Ibarat utas benang emas yang digunakan untuk
merenda kesejahteraan di sepanjang batas hutan.
Medio Oktober 2012 (Disadur dari
berbagai sumber)
Oleh: Deddy Hermansjah, Ketua LSM
“Raja Giri” Lumajang