Laman

Jumat, 31 Agustus 2012


PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) 
SECERCAH HARAPAN PERUBAHAN
Pada sisi yang lain, sebuah perubahan paradigma tengah terjadi di rumah “tetangga dekatnya” Perum Perhutani, BUMN yang selama puluhan tahun berinteraksi dengan masyarakat desa hutan. Pasang surut interaksi keduanya tampak jelas dalam keberhasilan dan kegagalan berbagai program yang dijalankan sejak tahun 1970.
Sejak diluncurkan pada akhir 2001, PHBM sebagai sebuah sistem bergulir diantara keyakinan dan keraguan akan keberhasilannya.  Kondisi demikian sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasinya. Banyak pihak yang kurang memahami konsepsi yang sebenarnya dari PHBM.  Sampai saat ini, kurangnya pemahaman tersebut masih tampak, baik di kalangan internal aparatur Perum Perhutani maupun di kalangan eksternal.
Di kalangan internal, kesungguhan aparatur atau petugas Perhutani belum maksimal dan masih terdapat keraguan dan pertanyaan dalam mengimplementasikan PHBM sesuai dengan konsepsi yang sebenarnya.  Banyak hal yang menjadi penyebabnya, salah satu diantaranya adalah PHBM dipahami bukan sebagai sebuah sistem, akan tetapi sebagai sebuah program. Sebagian merasa khawatir bahwa PHBM akan bernasib sama dengan program-program yang pernah dimiliki oleh Perhutani sejak 1970 hingga 2001, yakni memiliki tingkat keberhasilan yang tidak optimal dan selalu berganti-ganti judul.  Apalagi, dalam PHBM ini Perhutani harus merelakan 25 % bagian hasil produksinya untuk diserahkan kepada masyarakat desa hutan.  Bahkan, ada pula kalangan internal yang memiliki phobia irasional yang memandang PHBM sebagai upaya membesarkan anak macan dan membahayakan eksistensi Perum Perhutani ke depan.
Sementara itu, bagi pihak eksternal PHBM masih terkesan program milik Perhutani, belum terbangun sebagai bagian integral dan internalisasi dalam sistem pembangunan hutan dan daerah secara umum.  Padahal, pemahaman internal dan eksternal ini justru merupakan titik kritis dari keberhasilan implementasi PHBM.
Dalam perjalanan saya di batas-batas hutan Jawa dan Madura sepanjang tahun 2006, saya melihat bahwa implementasi PHBM memiliki tingkat keberhasilan yang beragam.  Di satu daerah PHBM berdampak sangat mengagumkan bagi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa hutan. PHBM telah nyata-nyata memberikan kontribusi yang sangat besar bagi masyarakat di sekitar hutan dengan nilai konversi fisik lebih dari 2 Trilyun rupiah per tahun.  Belum termasuk nilai kemanfaatan ekologis yang tidak terukur.
Namun di daerah lainnya, PHBM berkembang sangat lambat dan bahkan ada pula yang “layu sebelum berkembang“.  Beberapa diantaranya, berada pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan dan terkesan dibiarkan untuk tidak tumbuh dan berkembang dengan baik.  Uniknya, perbedaan dampak yang ditimbulkan PHBM itu, selaras dengan tingkat pemahaman dan sinergi para pelakunya.
Saya meyakini bahwa desa hutan memiliki potensi yang sangat besar sebagai Jembatan Emas bagi tercapainya cita-cita Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.  Kata kuncinya adalah bagaimana membentuk sinergi multi pihak dalam mewujudkan keberhasilan implementasi PHBM.
Harus jujur diakui bahwa di beberapa tempat, implementasi PHBM telah menjadi stimulator bagi meningkatnya keberdayaan masyarakat desa hutan yang ditunjukkan dengan kemandirian dalam membangun sarana fisik maupun non fisik, berkembangnya kreativitas sosial dan ekonomi dalam berbagai sisi kehidupan masyarakat desa hutan, meningkatkan kemampuan memotret diri dan berjalannya proses kematangan demokrasi berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal serta terjaganya fungsi ekologis kelestarian dalam pengelolaan sumberdaya hutan.
Keberhasilan implementasi PHBM berpotensi untuk memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi upaya mewujudkan cita-cita bangsa dan negara, khususnya percepatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa hutan.  Sumbangan tersebut berupa munculnya 3 sumber energi sebagai dampak dari implementasi PHBM yakni, dana bagi hasil produksi, optimalisasi ruang kelola dan sinergi kelembagaan lintas sektoral.  Sumber energi tersebut seharusnya dapat digunakan masyarakat desa hutan dalam mewujudkan harapannya, memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Ibarat utas benang emas yang digunakan untuk merenda kesejahteraan di sepanjang batas hutan.

Medio Oktober 2012 (Disadur dari berbagai sumber)
Oleh: Deddy Hermansjah, Ketua LSM “Raja Giri” Lumajang

PERUBAHAN IKLIM MEWARISKAN KEMISKINAN DI DESA HUTAN
Rachmat Witoelar, Ketua Harian DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim), menegaskan bahwa dampak negatif perubahan iklim semakin nyata dan terbukti telah menerpa di Indonesia.  Bukti dan dampak negatif tersebut telah disampaikan melalui the Indonesia Country Report on Climate Variability and Climate Change yang disusun oleh para ahli dari berbagai sektor dan institusi terkait, yang berisi ulasan analitis mengenai dampak perubahan iklim di Indonesia.
Bukti-bukti tersebut sesuai dengan hasil kajian secara global yang dilakukan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).  Menurutnya, dampak-dampak tersebut memiliki tantangan terhadap pembangunan dalam aspek lingkungan sosial dan ekonomi secara berkelanjutan, serta terhadap pencapaian tujuan pembangungan Indonesia.
Sementara itu, Håkan Björkman, Country Director UNDP Indonesia, mengatakan bahwa perubahan iklim mengacam usaha penanggulangan kemiskinan di Indonesia dan pencapaian Target Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals – MDGs). Perubahan pola curah hujan akan mengurangi ketersediaan air untuk irigasi dan sumber air bersih. Kemarau panjang dan banjir akan menyebabkan gagal panen yang sangat berpengaruh terhadap sumber penghidupan petani. Perubahan iklim akan paling mempengaruhi orang miskin dan kelompok rentan lainnya yang bekerja pada bidang-bidang pertanian, wilayah pesisir, sekitar hutan, serta wilayah perkotaan.
Perubahan iklim mengancam berbagai upaya Indonesia untuk memerangi kemiskinan. Dampaknya dapat memperparah berbagai risiko dan kerentanan yang dihadapi oleh rakyat miskin, serta menambah beban persoalan yang sudah di luar kemampuan mereka untuk menghadapinya. Dengan demikian, perubahan iklim menghambat upaya orang miskin untuk membangun kehidupan yang lebih baik bagi diri sendiri dan keluarga mereka.
Dalam laporannya, Sisi Lain Perubahan Iklim  (2007), UNDP Indonesia menyebutkan, pengaruh perubahan iklim lebih berat menimpa masyarakat paling miskin. Banyak di antara mereka mencari nafkah di bidang pertanian atau perikanan sehingga sumber-sumber pendapatan mereka sangat dipengaruhi oleh iklim. Apakah itu di perkotaan ataukah di pedesaan mereka pun umumnya tinggal di daerah pinggiran yang rentan terhadap kemarau panjang, misalnya, atau terhadap banjir dan longsor. Terlalu banyak atau terlalu sedikit air merupakan ancaman utama perubahan iklim. Dan ketika bencana melanda mereka nyaris tidak memiliki apapun untuk menghadapinya.
Global Humanitarian Forum di London, Inggris, pada bulan Mei 2009 telah melansir sebuah laporan yang diklaim sebagai laporan pertama mengenai dampak perubahan iklim terhadap manusia secara global. Laporan tersebut menyebutkan bahwa perubahan iklim global telah menewaskan 300.000 jiwa setiap tahunnya. Kerugian yang ditimbulkan mencapai 125 miliar dollar Amerika Serikat. Disebutkan pula bahwa 325 juta jiwa kaum miskin adalah yang paling menderita.
Menurut Panel Ahli Antar pemerintah untuk Perubahan Iklim atau IPCC (2007), kenaikan suhu 2 derajat Celsius akan menurunkan produksi pertanian Cina dan Bangladesh sebesar tiga puluh persen pada 2050.  IPCC (2007) membuat dua skenario penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga tahun 2030. Pertama, suhu rata-rata global naik 2-2,4 derajat Celsius. Ini dicapai dengan menstabilkan konsentrasi GRK pada tingkat 445-490 ppm. Kedua, kenaikan suhu rata-rata 3,2-4 derajat Celsius dengan menjaga konsentrasi GRK antara 590-710 ppm. Skenario pertama mustahil dicapai, karena tingkat GRK pada 2005 sudah 400-515 ppm.
Perpaduan antara meningkatnya suhu rata-rata, siklus hidrologi yang terganggu sehingga menyebabkan musim kemarau lebih panjang dan musim hujan yang lebih intensif namun lebih pendek, meningkatnya siklus anomali musim kering dan hujan serta berkurangnya kelembaban tanah akan menganggu sektor pertanian.  Termasuk di Indonesia, para petani telah merasakan ketidak teraturan iklim yang mengacaukan pola tanam mereka.
Curah hujan di beberapa wilayah di Indonesia diprediksikan akan meningkat sekitar 2-3 persen per tahun. Di Jawa, Bali, NTB, NTT, sebagian Sulawesi, Maluku dan Papua curah hujan akan berkurang. Kecenderungan yang akan terjadi adalah musim kemarau lebih panjang. Khusus di Pulau Jawa, perubahan musim akan sangat ekstrem dimana musim hujan akan menjadi sangat basah dan musim kering akan menjadi sangat kering dan lebih panjang. Hal ini menyebabkan Jawa menjadi rawan banjir dan kekeringan. (BMKG, 2009).
Dalam beberapa tahun ini para petani di desa-desa di pulau Jawa sudah membicarakan mengenai musim yang tidak normal. Kearifan kuno petani padi mengenai urut-urutan musim tanam, pranata mangsa di Jawa, Palontara di Sulawesi Selatan, dan banyak kearifan lainnya sudah dikacaukan oleh perubahan iklim. Di sebagian besar wilayah di Sumatera selama kurun waktu 1960-1990 dan 1991-2003, awal musim hujan kini menjadi terlambat 10 hingga 20 hari dan awal kemarau menjadi terlambat 10 hingga 60 hari.
Berbagai pergeseran serupa juga sudah dirasakan di pulau Jawa. Pola-pola ini berpeluang untuk berlanjut. Di masa akan datang, sebagian wilayah Indonesia, terutama wilayah yang terletak di sebelah selatan katulistiwa, dapat mengalami musim kemarau yang lebih panjang dan musim hujan yang lebih pendek tetapi dengan curah yang lebih tinggi dengan tipe perubahan berpola. Di samping itu, iklim juga kemungkinan akan menjadi makin berubah-ubah,dengan makin seringnya curah hujan yang tidak menentu. Suhu yang lebih tinggi juga dapat mengeringkan tanah, mengurangi sumber air tanah, mendegradasi lahan, dan dalam beberapa kasus dapat mengakibatkan penggurunan.
Perubahan iklim akan mempengaruhi hasil panen yang kemungkinan besar akan berkurang disebabkan oleh semakin keringnya lahan akibat musim kemarau yang lebih panjang. Pada skala yang ekstrem, berkurangnya hasil panen dapat mengancam ketahanan pangan. Selain itu, kebutuhan irigasi pertanian juga akan semakin meningkat namun disaat yang sama terjadi kekurangan air bersih karena mencairnya es di kutub yang menyebabkan berkurangnya cadangan air bersih dunia. Hal ini dapat berujung pada kegagalan panen berkepanjangan yang juga menyebabkan pasokan pangan menjadi sangat tidak pasti.
Dampak perubahan iklim memang tengah terjadi dan dirasakah oleh masyarakat dunia. Masalahnya, dampak itu tidak dibagi secara merata. Rakyat miskin dan negara-negara miskin paling menderita karena rendahnya daya adaptasi dan ketergantungan hidup mereka pada sumber daya alam yang rentan perubahan iklim. Petani dan nelayan, termasuk dua pihak yang paling menderita. Perubahan iklim menimbulkan periode musim hujan dan musim kemarau semakin kacau, ketegangan konsumsi air untuk pertanian dan industri akan kian meningkat. Tidak hanya produksi pangan menurun, pada saat yang sama, petani akan jatuh miskin, tenaga kerja sektor pertanian menganggur, dan jumlah penganggur meningkat. Arus urbanisasi tidak terbendung lagi. Ini akan membiakkan kerawanan sosial dan masalah baru di kota. Yang paling mencemaskan adalah rapuhnya kedaulatan pangan, lalu kita bergantung pada pangan impor yang menguras devisa.
Pewarisan Kemiskinan di Desa Hutan
CIFOR menyebutkan, hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan dan masyarakat secara keseluruhan.  Menurut Bank Dunia, lebih dari satu milyar orang sangat tergantung pada hutan sebagai sumber kehidupan mereka.  Ratusan juta manusia juga bergantung pada bahan obat-obatan tradisional yang berasal dari tumbuhan hutan.
Di Indonesia, masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan, sebagian besar merupakan kelompok masyarakat miskin yang kehidupannya sangat tergantung pada aksesibilitasnya terhadap kawasan hutan.  Alur sepanjang batas hutan, khususnya di Jawa dan Madura, dikenal sebagai lumbung kemiskinan yang kemudian oleh sebagian orang dianggap sebagai ‘ancaman’ bagi kelestarian hutan disekitarnya.
Kemiskinan yang melingkupi masyarakat desa hutan nyaris menjadi suatu pemandangan umum sepanjang masa.  Pasalnya, kemiskinan ini kemudian ‘diwariskan’ pada generasi berikutnya karena ketidakberdayaan untuk merubah kesejahteraannya.  Kemiskinan itu menyebabkan sumberdaya manusia desa hutan, khususnya komunitas generasi muda, tidak memiliki bekal cukup untuk bersaing dengan komunitas lainnya.  Pendidikan dan kesehatan menjadi kendala umum sebagai akibat dari kecilnya pendapatan masyarakat desa hutan.  Padahal pada satu sisi, kondisi geografis tempat tinggalnya menyebabkan masyarakat desa hutan harus menanggung biaya hidup yang lebih tinggi, harga sembilan bahan pokok menjadi lebih mahal karena faktor transportasi.
Pola pewarisan kemiskinan tersebut akan semakin menguat dan langgeng dengan adanya ancaman perubahan iklim.  Pasalnya, semua dampak dari perubahan iklim tersebut akan semakin memberatkan kehidupan masyarakat desa hutan.  Menurunnya pendapatan keluarga tani karena usaha taninya merugi, akan diikuti oleh menurunnya daya beli dan kemampuan memenuhi kebutuhan hidup minimum lainnya seperti pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan, yang berujung pada menurunnya kualitas hidup dan tingkat kesejahteraannya. Termasuk, tidak mampu mewariskan kehidupan yang lebih baik bagi generasi berikutnya.
Berdasarkan data Identifikasi Desa di Dalam dan di Sekitar Kawasan Hutan (2009), di Jawa dan Madura terdapat 4.614 desa hutan (18,54 % dari seluruh desa yang ada di P Jawa Madura minus DKI Jakarta). Sebanyak 366 desa berada di dalam kawasan hutan dan 4.248 desa yang berbatasan langsung dengan hutan (Kementrian kehutanan menyebutnya berada di tepi kawasan hutan).   Sebesar 12,61 persen jumlah penduduk Jawa Madura (12,81 persen jumlah KK), tinggal di desa hutan dengan menempati areal seluas 4.186.892 hektar.
Data yang dikeluarkan oleh Kementrian Kehutanan RI tersebut menyebutkan, 99,45 persen  desa hutan yang berada di dalam kawasan hutan dan 97,08 persen desa hutan yang berada di tepi kawasan hutan, sumber penghasilan utama masyarakatnya adalah pertanian.  Dan, 90,66 persen dari usaha tani yang menjadi sumber pendapatan utama keluarganya itu merupakan usaha tani tanaman pangan.  Data ini dengan jelas menunjukan bahwa masyarakat desa hutan adalah petani gurem yang tidak memiliki lahan pertanian dan menggantungkan seluruh hidupnya dari usaha pertanian.   Sektor kehutanan sendiri hanya dijadikan sumber penghasilan utama oleh kurang dari 1 persen masyarakat desa hutan di Jawa dan Madura.
Data statistik itu pun dengan jelas memberikan gambaran betapa masyarakat desa hutan akan menjadi semakin miskin dan terancam kehidupannya, bila dugaan para pakar perubahan iklim benar adanya.  Lebih dari 90 persen masyarakat desa hutan di Jawa dan Madura ini tidak dapat lagi menggantungkan hidupnya dari pertanian.  Jika demikian, maka ancaman lainnya – yang semoga saja disadari oleh para pemangku kepentingan, khususnya pengelola hutan negara di Jawa dan Madura – akan semakin memperparah dampak perubahan iklim tersebut.  Ancaman semakin meluasnya deforestasi dan degradasi hutan di tingkat akar rumput, konflik tenurial dan pelanggaran hukum serta konflik-konflik lainnya yang terjadi karena dorongan pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Sayang sekali, sampai saat ini para pemangku kepentingan yang terkait dengan isyu perubahan iklim ini, belum secara nyata serius mengantisipasi dan memberikan perhatian penuh kepada masyarakat desa hutan.
Terkait dengan hal tersebut, pada tataran nasional, khususnya terkait dengan perubahan iklim di Indonesia, banyak pihak tidak menyadari bahwa masyarakat desa hutan memiliki posisi yang sangat strategis.  Ilmuwan memperkirakan bahwa emisi yang ditimbulkan oleh deforestasi dan degradasi hutan mencapai sekitar 20 % dari seluruh emisi gas rumah kaca (GRK) per tahun.  Jumlah ini lebih besar dari emisi yang dikeluarkan oleh sektor transportasi secara global.  Dan, fakta menunjukan adanya korelasi antara kemiskinan masyarakat desa hutan dengan praktik illegal logging yang terjadi.
Benar kiranya pendapat para ahli bahwa upaya pengurangan emisi carbon dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) tidak akan effektif tanpa keseriusan melibatkan masyarakat desa hutan dalam implementasinya. Tidaklah berlebihan jika saya katakan bahwa, upaya serius untuk melakukan pemberdayaan masyarakat desa hutan, khususnya kelompok perempuan dan taruna desa hutan, tidak saja digolongkan sebagai upaya untuk menanggulangi kemiskinan di sepanjang batas hutan, namun juga termasuk salah satu bentuk usaha mengurangi emisi karbon (mitigasi) melalui pencegahan illegal loging serta peningkatan penyerapan dan penyimpanan karbon oleh ekosistem hutan.  Upaya ini sering disebut sebagai REDD (Reducing emissions from deforestation and forest degradation) atau pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.
Dalam upaya mewujudkan hal tersebut, maka Komunitas Masyarakat Desa Hutan perlu didorong untuk dapat berperan aktif dan terdepan dalam 3 pilar aktivitas, yaitu :
1.      Pengembangan sumberdaya manusia masyarakat desa hutan, melalui pendidikan dan pelatihan;
2.      Pengembangan ekonomi kreatif desa hutan melalui penguatan modal dan jejaring pasar;
3.      Propaganda penyadaran perubahan iklim di Indonesia.
Melalui  3 pilar aktivitas tersebut dan dilakukan sebagai sebuah gerakan yang dapat mewujudkan harapan sekitar 20 juta orang di sepanjang batas untuk terciptanya Hutan Lestari, masyarakat Desa Hutan Sejahtera.
Semoga.

Medio Oktober  2012 (Disadur dari berbagai sumber)
Oleh: Deddy Hermansjah, Ketua LSM “Raja Giri” Lumajang


"Maka datanglah masanya, bahwa bukan lagi hutan berbahaya bagi manusia, melainkan sebaliknya manusia berbahaya bagi hutan. Dengan kegiatannya memperluas ruang hidup dengan pengetahuan yang tidak sempurna, banyak hutan ditebang dan dibakar dengan sesuka-sukanya. Rimba belantara menjadi padang tandus, hujan yang lebat dahulu jadi jarang datangnya. Negeri yang kaya menjadi miskin, rakyat yang makmur terancam bahaya kelaparan senantiasa. Dengan merusak hutan, manusia yang setengah maju menjadi bahaya bagi dirinya sendiri. Dalam masa inilah kita hidup sekarang”.
(Bung Hatta, 1956)

PENGUATAN KELEMBAGAAN LMDH

Implementasi PHBM tidak dapat berhenti pada tahapan telah terbentuknya LMDH di setiap desa hutan, sebagaimana ditargetkan.  Pasalnya, kelembagaan yang telah dibangun itu dalam pembinaannya masih terasa lambat dan lemah, penguatan kelembagaan masih belum opimal dilakukan dan belum maksimal melibatkan multi pihak.  LMDH itu sendiri, dalam konsepsi PHBM hanyalah salah satu institusi dari sekian institusi yang turut berperan dan menentukan tingkat keberhasilan pencapaian tujuan konsepsi sistem PHBM.  Institusi yang lainnya adalah Perhutani, Pemerintah Daerah setempat, Lembaga Swadaya Masyarakat (Non Goverment Organisation), dan komunitas bisnis (investor, pengusaha dan perusahaan swasta).
Di sisi lain, diperlukan pula kelengkapan kebutuhan kelembagaan yang ada, mobilisasi untuk memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat tersebut, dan pengaturan wahana struktural organisasi yang ada, serta adanya suritauladan birokrasi dalam melakukan capasity building. Dalam konteks perubahan sosial, proses implementasi sistem PHBM berlangsung sangat dinamis, tidak seragam dan tidak berada di dalam ruang yang hampa dan steril dari beragam intervensi negatif.
Oleh karenanya, LMDH sebagai salah satu implementator haruslah dapat mengikuti alur perubahan yang terjadi disekelilingnya.  LMDH dituntut untuk terus menerus berada dalam proses pembelajaran, memperbaharui dirinya dan mengembangkan kreativitas-kreativitas sosial ekonomi dalam mewujudkan amanah yang dibebankan kepadanya.  Maksudnya sangat jelas, agar LMDH sebagai motivator dan stimulator pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa hutan, tidak tertinggal jauh dari arus perubahan itu sendiri.
Bagaimana mungkin sebuah organisasi masyarakat sipil (LMDH) dapat membangun dan memberdayakan komunitasnya, jika organisasi itu sendiri tidak adaptif dan selaras dengan dinamika perubahan yang berlangsung sangat cepat. Inilah alasan yang paling penting (tentu disamping banyak alasan lainnya), tentang mengapa penguatan kelembagaan LMDH menjadi sangat perlu untuk segera dilakukan.  Penguatan kelembagaan LMDH menjadi titik kritis bagi upaya mewujudkan tujuan mulia dari implementasi PHBM itu sendiri.
Tampaknya, optimalisasi kelembagaan yang menjadi tahapan sangat kritis itu, memerlukan energi yang sangat besar untuk dilakukan.  Pasalnya, dalam optimalisasi kelembagaan ini, diperlukan adanya peningkatan kapasitas kelembagaan yang terlibat dalam PHBM, baik itu Perum Perhutani, jajaran institusi Pemerintah, dan lembaga terkait lainnya, sehingga semua penyelenggaraan kegiatan terkoordinasikan dengan baik, sinergis dan secara berkelanjutan.  Masalahnya, masing-masing institusi tersebut memiliki kepentingan dan alur kerja sendiri atau ego sektoral yang terkadang sulit untuk diselaraskan. Dalam perjalanan saya, banyak menemukan fakta bahwa betapa sulitnya membangun hal tersebut.
Padahal, saya percaya dan meyakini, bahwa LMDH mampu membawa ribuan masyarakat desa hutan yang tersebar di lebih dari 60 desa di batas-batas hutan Kabupaten Lumajang, menuju kesejahteraan sosial ekonomi. Dan tentunya, akan sangat berpengaruh terhadap percepatan kemandirian, kelestarian lingkungan dan (secara umum) kebangkitan nyata Negeri kita tercinta, Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berlebihankah saya, jika potensi masyarakat desa hutan membuat saya menaruh harapan besar untuk dapat turut serta aktif mewujudkan kesejahteraan bangsa, dimulai dengan mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa hutan? Pertanyaan dasar yang selama ini selalu memenuhi pikiran saya, mungkinkah kita dapat mewujudkan kembali masa kejayaan Sriwijaya dan Majapahit dengan memulainya dari desa hutan?
Keyakinan saya, sangatlah mungkin, selama masyarakat desa hutan dibekali kemampuan untuk mengenali, menggali dan memahami potensi diri dan lingkungannya, dibekali kemampuan untuk merumuskan dan merencanakan tujuan yang ingin dicapainya, kemampuan untuk mengevaluasi kinerjanya, kemampuan untuk “menjual” nilai tambah yang dimilikinya, serta diberi kemampuan dan kesempatan untuk dapat menjalin kemitraan dan kerjasama dengan lembaga, institusi, organisasi serta warga bangsa lainnya.
Bersama-sama, tentu kita bisa mewujudkan harapan masyarakat desa hutan untuk dapat menjadi masyarakat yang maju, mandiri dan sejahtera.

Medio Desember 2012
Oleh: Deddy Hermansjah, Ketua LSM “Raja Giri” Lumajang

Rabu, 29 Agustus 2012

TENTANG KONSEP DAN SISTEM PERTANIAN ORGANIK 
*(Sebagai Masukan Untuk Pelaksanaan Program SIGARPUN BULAT Yang Dipandegani oleh Dinas Pertanian Kabupaten Lumajang)

Kabupaten Lumajang secara geografis dan astronomis dianugerahi wilayah yang beriklim tropis dengan curah hujan dan penyinaran matahari yang ideal untuk pertanian.
Sejak dahulu, Kabupaten Lumajang dikenal sebagai daerah agraris hingga sekarang ini. 
Seiring dengan perubahan peradaban dan teknologi serta berbagai perkembangan di dunia pertanian, secara bertahap pola pertanian di Kabupaten Lumajang juga terseret ke dalam perubahan tersebut.
Mulai dari perubahan pola tanam, teknologi bercocok tanam hingga aspek-aspek produksi pertanian lainnya, bahkan sampai kepada varietas tanaman yang dibudidayakan.
Dari berbagai perkembangan pertanian, segala macam sistem dan pola pertanian yang pernah diprogramkan pemerintah Kabupaten Lumajang, ternyata tidak saja memberi dampak positif kepada petani yang melaksanakan namun juga meninggalkan efek negatif kepada petani dan juga lahan pertanian yang diusahakan oleh petani itu sendiri.
Setelah melalui berbagai pengkajian dan pendalaman, akhirnya timbul pemikiran dan keinginan untuk berubah.
Sebuah keinginan untuk kembali kepada alam (back to nature) dan kembali melaksanakan pola pertanian yang selaras dengan alam.
Mengapa pola pertanian yang selaras dengan alam?
Ternyata, pola pertanian yang selama ini diterapkan seperti bercocok tanam dengan menggunakan pupuk kimia buatan dan bahan-bahan kimia buatan lainnya sebagai fungisida, pestisida, maupun insektisida memberikan pengaruh buruk terhadap petani dan lingkungan, selain tujuan yang diharapkan dari pemakaian bahan-bahan itu sendiri.
Pola pertanian yang selaras dengan alam inilah yang disebut dengan pertanian organik.
Keinginan Pemerintah Kabupaten Lumajang untuk melaksanakan pola pertanian yang selaras dengan alam tersebut diwujudkan dalam sebuah program yang bertajuk SIGARPUN BULAT (Aksi Gerakan Pemupukan Organik dan Benih Unggul Bersertifikat).
Dari perspektif lingkungan, sosial dan ekonomi, program SIGARPUN BULAT adalah sebuah gagasan yang cemerlang dan berani ditengah-tengah keengganan petani dan pelaku petanian menerapkan pola organik.
APA ITU PERTANIAN ORGANIK ?
Menurut sistem standarisasi Indonesia, SNI 01–6792–2002, definisi dari pertanian organik adalah suatu sistem manajemen produksi yang holistik yang meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agroekosistem, termasuk keragaman hayati, siklus biologi, dan aktifitas biologi tanah. Jika diuraikan dari definisi tersebut diatas, bisa kita jadikan sebagai pondasi dasar  pemahaman tentang pertanian organik bahwa pertanian organik merupakan suatu system budidaya yang dilaksanakan secara terpadu dengan bersandar kepada pengembangan kesehatan faktor-faktor yang berperan dalam pelaksanaan pertanian itu sendiri mulaidari keragaman hayati, menunjang berjalannya siklus biologi secara aman dan wajar serta ditunjang oleh upaya memberdayakan aktifitas biologi tanah dengan tujuan untuk meningkatkan produksi pertanian.
Selain hal tersebut diatas, pertanian organik berpijak pada pemahaman yang mendasar, bahwa untuk meningkatkan jumlah produksi pertanian haruslah dilaksanakan suatu pola pertanian yang mandiri dan merdeka dari ketergantungan terhadap faktor produksi dari luar seperti racun kimia buatan dan pupuk kimia buatan.
Hal ini semata-mata disebabkan oleh tidak berdayanya pelaku pertanian, atau petani, dalam menghadapi berbagai hambatan yang ditimbulkan oleh faktor produksi dari luar, ini karena petani membiasakan diri menggunakan berbagai macam penunjang produksi yang dikemas dan dijual di pasaran.
Jadi, secara harfiah jika dijelaskan maka pertanian organik adalah suatu sistem pertanian yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani dengan menjauhkan petani dari ketergantungan terhadap pihak luar dan meningkatkan produksi dengan jalan memberdayakan potensi lokal yang ada di lingkungan petani dengan tetap bersandar kepada berlangsungnya keragaman hayati dan siklus biologi lingkungan.
CIRI–CIRI  PERTANIAN ORGANIK 
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan berbagai hal yang merupakan ciri-ciri dari pertanian organik, antara lain:
1.   Menyuarakan aspek lingkungan, sosial dan ekonomi yang berkesinambungan;
2.   Aspek alamiah dan kondisi lingkungan sekitar merupakan sumber penunjang produksi yang utama;
3.   Mengurangi penggunaan bahan penunjang dari luar;  
4.   Rotasi tanaman;
5.   Sistem budidaya secara tumpang sari atau polikultur; 
6.   Pengendalian hama secara biologis;
7.   Varietas tanaman yang resisten;
8.   Pengendalian erosi;
9.   Pengelolaan air; 
10. Daur ulang nutrisi atau unsur hara dari dalam tanah.
PELAKSANAAN PERTANIAN SECARA ORGANIK 
Dalam pelaksanaannya, pertanian organik harus dilakukan dalam suatu sistem budidaya pertanian yang terpola secara baik dan teratur. Adapun berbagai hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan pertanian secara organik antara lain:
a.   Dokumentasi, dokumentasi yang dimaksud disini adalah mencatat secara teratur dan detail segala proses yang dilakukan selama melaksanakan budidaya pertanian.Adapun ang didokumentasikan antara lain :
-     Sejarah penggunaan lahan sebelum dikonversikan sebagai lahan pertanian organik;
-     Segala hal yang berkaitan dengan status penggunaan lahan, seperti pemilik, penyewa (jika disewa), dan luas maupun kondisi situasi lahan (peta situasi, topografi, dsb);
-     Pelaksanaan kegiatan pengolahan tanah;
-     Pelaksanaan proses budidaya mulai dari pembibitan (bibit, jumlah bibit, asal bibit, tanggal pembibitan,perlakuan sebelum semai, perlakuan sebelum tanam), penanaman (jumlah tanaman, tanggal tanam), penyiangan (waktu penyiangan,dll), perawatan dan pemeliharaan (serangan hama dan cara pengendaliannya, bahan yang digunakan, dosis, jumlah serangan, dll), pemupukan (pupuk yang digunakan, dosis, waktu dan intensitas penberian pupuk), pemanenan (waktu panen dan hasil produksi);
-     Pasca panen, mulai dari pengemasan, pengepakan, penghitungan hasil, dan penjualan serta pasar .
b.   Lahan, melaksanakan usaha pertanian secara organik juga harus memperhatikan berbagai persyaratan terhadap lahan yang diperuntukkan untuk pertanian organik.Syarat-syarat yang harus diperhatikan tersebut antara lain:
1.   Lahan yang akan digunakan dalam usaha pertanian secara organik haruslah bebas dari bahan kimia sintetis baik yang berasal dari pupuk maupun pestisida-pestisida, jika lahan yang akan digunakan dalam usaha pertanian organik berasal dari lahan yang sebelumnya untuk usaha pertanian non organik (konvensional), maka lahan tersebut harus dikonversikan terlebihdahulu dengan ketentuan sebagai berikut:
a.   Untuk tanaman semusim diperlukan waktu konversi (recovery) lahan minimal 2 (dua) tahun dan untuk tanaman tahunan diperlukan waktu selama 3 (tiga) tahun, selain itu juga tergantung kepada kepada kondisi lahan yang akan digunakan tetapi waktunya tidak boleh kurang dari 12 (dua belas) bulan 
b.   Lahan yang sedang dalam konversi (recovery) tidak boleh dirubah bolak balik antara organik dan konvensional;
2.   Jika lahan yang akan digunakan adalah satu hamparan namun konversi (recovery) lahan tidak dilakukan secara bersamaan maka perlu ada pemisahan yang tegas antara lahan organik dan non organik untuk menghindari terjadinya kontaminasi dari lahan non organik ke lahan organik.
c.   Benih dan Bibit. Untuk pelaksanaan pertanian organik kita juga harus memperhatikan benih dan bibit yang akan kita gunakan.
Antara lain:
·  Benih dan bibit tidak boleh berasal dari produk rekayasa genetika (genetically modified organism = GMO);
·  Benih dan bibit yang digunakan untuk pertanian organik harus berasaldari produk pertanian organik, jika hal ini tidak terpenuhi maka ada beberapa syarat lain yang mesti dilaksanakan, yaitu:
-         Untuk tahap awal dapat digunakan benih dan bibit yang tidak dikenai perlakuan dengan bahan-bahan yang dilarang digunakan dalam pertanian organik;
-         Jika hal diatas tidak juga bisa terpenuhi maka diperbolehkan menggunakan benih dan bibit yang diberi perlakuan dengan bahan-bahan yang direkomendasikan untuk pertanian organik.
Meskipun sudah seringkali disosialisasikan bahwa pola dan sistem pertanian organik lebih menguntungkan, tapi faktanya masih belum banyak petani yang tertarik. Mayoritas petani di Kabupaten Lumajang masih enggan menerapkan pola pertanian organik.
Keengganan petani menerapkan pola organik murni, hal ini terkait dengan sikap dan budaya. Rata-rata petani belum siap mendapatkan hasil panen yang menurun pada tahap awal penerapan pola organik, namun apabila tahapan pola pertanian organik dilaksanakan dengan benar, maka hasil produksi pertanian akan menjadi lebih baik secara kuantitas dan kualitas dari waktu ke waktu.
Hal itu berbeda dengan pola pertanian yang menggantungkan pada pupuk dan pestisida kimia. Seperti diketahui, pupuk kilia dan pestisidanya menunjukkan hasil yang lebih cepat dan praktis.

*(oleh: Deddy Hermansjah, ketua LSM “Raja Giri” Lumajang)
Medio Desember  2012