Laman

Rabu, 05 September 2012


LMDH dan Entitas Sosio Ekonomi Desa Hutan
Pembentukan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), tidak terlepas dari implementasi PHBM itu sendiri.  LMDH dibentuk sebagai sebuah payung hukum Masyarakat Desa Hutan (MDH) untuk dapat melakukan perjanjian kerja sama dengan Perum Perhutani dalam pengelolaan sumberdaya hutan.  Sebagai Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), LMDH lahir karena implementasi PHBM memerlukan institusi yang secara hukum dapat bertindak mewakili dan mengatasnamakan MDH.
Dengan demikian, apa yang menjadi tujuan PHBM seharusnya juga secara otomatis menjadi tujuan dari LMDH.  Menyadari hal tersebut, sesungguhnya LMDH adalah sebuah entitas sosio ekonomi masyarakat yang berperan sebagai motor penggerak pembangunan sosial ekonomi desa hutan. Kehadiran LMDH di tengah-tengah MDH diharapkan dapat menjamin kemajuan, kemandirian dan kesejahteraan bagi warga MDH itu sendiri.
Memandang dan memperlakukan LMDH sebagai sebuah entitas sosio ekonomi desa hutan, menjadi entri point bagi keberhasilan implementasi PHBM.  Pasalnya, kegiatan ekonomi masyarakat desa dibangun di atas moralitas subsisten yang mendasarkan pada orientasi kecukupan pemenuhan kebutuhan rumah tangganya dan tidak untuk meraih keuntungan secara ekonomi.  Budaya subsisten melahirkan bentuk tindakan saling tolong menolong sesama warga, lembaga kekerabatan dan jaminan sosial yang berbasis pada kebersamaan.
Sosio ekonomi yang dimaksudkan adalah membangun ekonomi desa hutan berdasarkan atas nilai-nilai kearifan sosial yang dimilikinya. Pola pemikiran ini harus menjadi dasar bagi seluruh program pemberdayaan yang ditujukan bagi masyarakat desa hutan. Pemisahan orientasi sosial ekonomi LMDH menjadi orientasi sosial saja atau ekonomi saja, justru akan menghilangkan budaya subsisten yang menjadi nilai-nilai kearifan lokal.
Namun demikian, kecilnya prosentase keberhasilan LMDH dalam implementasi PHBM, sebagaimana sering menjadi “kritik” multi pihak, menjadi tantangan yang harus dipahami dengan menelusuri proses perjalanannya. Kritik yang sering dilontarkan bahwa LMDH adalah bentukan dan “Anak Perhutani” untuk menunjukan kepedulian semu terhadap social corporate responsibility-nya, untuk sebagian kasus memang ada benarnya.
Dalam perjalanannya, sebagian besar LMDH terbentuk dalam proses yang tidak alamiah dan terkesan “dipaksakan” untuk ada.  Maksudnya, pembentukan organisasi masyarakat desa hutan tersebut bukanlah sebuah dampak dari kesadaran masyarakat untuk berhimpun dengan satu latar belakang dan satu harapan untuk diwujudkan bersama.  Penetapan target yang diterapkan Direksi Perum Perhutani saat itu, mengakibatkan pembentukan LMDH lebih mengejar kuantitas daripada kualitas organisasi.  Jadilah LMDH target bentukan tersebut menjadi organisasi papan nama dan sama sekali tidak berdaya serta jauh dari tujuan mulia sistem PHBM itu sendiri.
Dampak ikutannya adalah banyak dari LMDH yang tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang apa tugas pokok, peran dan fungsinya sebagai organisasi masyarakat sipil komunitas desa hutan.  Bahkan, banyak pula yang justru tidak mengerti mengapa dan untuk apa sesungguhnya mereka membentuk LMDH.  Sehingga, banyak yang kemudian seperti berjalan di malam kelam tanpa bintang, tanpa arah dan tanpa peta yang jelas.
Inilah yang harus bersama-sama kita benahi.

Diperbaharui September 2012 (Disadur dari berbagai sumber)
Oleh: Deddy Hermansjah, Ketua LSM “Raja Giri” Lumajang

Sabtu, 01 September 2012


POTRET WAJAH MURAM DESA HUTAN
Desa hutan, begitu mereka menyebut desa-desa yang berada di tepian hutan.  Sebenarnya, desa itu sama saja seperti desa-desa yang lainnya, kecuali secara geografis letaknya berbatasan dengan hutan, atau bahkan berada di dalam hutan.
Desa hutan didefinisikan sebagai wilayah desa yang secara geografis dan administratif berbatasan dengan kawasan hutan atau di sekitar kawasan hutan.  Sebagian besar desa hutan memiliki ciri-ciri, aksesibilitas yang terbatas hampir di semua dimensi, baik aksesibilitas terhadap informasi, pendidikan, teknologi, permodalan, pasar, dan sumberdaya lainnya, pembangunannya tertinggal, letaknya berada di sepanjang batas hutan, relatif lebih jauh dari pusat pemerintahan, pusat pendidikan dan pusat pertumbuhan ekonomi, serta bercirikan areal pertanian tadah hujan.
Kondisi umum masyarakatnya memiliki tingkat kesejahteraan yang relatif rendah, rata-rata pendapatan perkapita rendah, berpendidikan rendah sehingga memiliki tingkat kualitas sumberdaya manusia relatif rendah pula, dan mayoritas mata pencaharian masyarakatnya adalah petani subsisten (berusaha tani hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bukan atas pertimbangan pengembangan bisnis) dan buruh tani.
Ciri umum lainnya adalah daya dukung infrastruktur yang terbatas. Jalan sebagai salah satu urat nadi perekonomian, berada dalam kondisi yang tidak memadai, beberapa diantaranya tidak layak untuk digunakan.  Kondisi demikian membuat sebagian besar desa hutan berada dalam keterisoliran dalam arti yang lebih luas.
Perpaduan karakteristik wilayah dan kondisi masyarakat yang memiliki banyak sekali keterbatasan dan permasalahan, berakibat pada upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa hutan menjadi lebih sulit dan kompleks, dibandingkan dengan desa-desa lainnya.  Kondisi geografis memaksa mereka menerima beban hidup yang lebih besar dibanding masyarakat desa lainnya. Pendapatan perkapita yang  rendah, melahirkan tingkat kesejahteraan yang rendah pula. Sementara itu, kebutuhan ekonomi terus menerus menekan dengan kekuatan di luar batas pengendaliannya. Rata-rata pendapatan dan rata-rata pengeluaran penduduk dalam satu keluarga dalam satu tahun menunjukan nilai minus, merupakan gambaran nyata kondisi kesejahteraan masyarakat desa hutan.
Dukungan infrastruktur, khususnya jalan sebagai nadi perekonomian desa, sangat tidak memadai.  Lihat saja jalan akses ke desa hutan, masih banyak yang, jangankan beraspal, berbatu koral pun tidak.  Kondisi itu membuat beban biaya transportasi semakin tinggi, yang tentu saja sangat berpengaruh pula pada harga-harga bahan kebutuhan pokoknya. Ujung-ujungnya, mereka harus membayar lebih tinggi untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya.
Demikian pula dengan kesempatan mereka untuk meraih pendidikan yang lebih tinggi, membutuhkan energi dan biaya yang lebih besar.  Untuk melanjutkan ke tingkat SLTP saja, anak-anak desa hutan harus membayar lebih karena mereka menanggung beban biaya transportasi atau biaya pemondokan.  Pasalnya, rata-rata SLTP selalu berada di ibu kota Kecamatan yang jauhnya bisa sampai berpuluh kilometer.  Jaringan listrik yang belum sampai ke desa hutan, semakin melengkapi keterbatasan aksesibilitas mereka terhadap informasi, peluang pengembangan potensi sumber daya dan pembangunan wilayahnya.
Kondisi tersebut diperparah dengan daya dukung APBD bagi keuangan Pemerintahan Desa yang tidak memungkinkan untuk melakukan percepatan pembangunan, termasuk membangun sarana transportasi yang lebih memadai.  
Sementara itu, mengandalkan swadaya masyarakatnya yang tengah berada dalam kondisi serba sulit dan tekanan kebutuhan hidup sehari-hari, jelas-jelas sangat tidak mungkin atau bahkan, termasuk mustahil.
Terdapat ketidak adilan distribusi APBD terhadap masyarakat desa hutan. Salah satu contoh, distribusi dana Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) yang diterima oleh Pemerintah Daerah, memiliki prosentasi yang tidak proporsional bagi desa di sekitar hutan.  Padahal, berbagai literatur menunjukkan bahwa masyarakat desa hutan sesungguhnya merupakan benteng yang sangat tangguh untuk membendung berbagai dampak negatif kerusakan hutan, seperti penebangan ilegal (illegal logging), pencurian keanekaragaman hayati dan plasma nutfah, serta perburuan hewan langka.
Berbagai praktek pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang dilakukan masyarakat desa hutan, terbukti adaftif terhadap ekosistem hutan alam tropis.  Sistem ekonomi yang tercermin dari mata pencahariannya, institusi sosial yang mengatur tata hubungan dan interaksi komunitas dengan sumber daya hutan, termasuk perkembangan teknologi pemanfaatan sumber daya alamnya, berkembang sesuai dengan perkembangan sistem sosial, ekonomi dan religiusitasnya (Agung Nugraha, 2005).
Alih-alih mendapat prioritas percepatan pembangunan dan pemberdayaan, masyarakat desa hutan justru menerima kontribusi hasil-hasil pembangunan yang lebih kecil dibanding masyarakat desa lainnya. Lemahnya posisi tawar mereka dalam memperjuangkan hak-hak dan kepentingannya, membuat kondisi tersebut berlangsung terus menerus, berlalu seiring perjalanan waktu, menjadi sebuah pemahaman negatif bahwa itulah nasib yang harus mereka terima. Maka tidaklah heran, bila kemudian kecepatan meningkatnya pendapatan masyarakat desa hutan, berbanding terbalik dengan kecepatan meningkatnya kebutuhan hidup yang harus dipenuhinya.

Diperbarui: November 2012
(Disadur dari berbagai sumber)
Oleh: Deddy Hermansjah, Ketua LSM “Raja Giri” Lumajang