POTRET WAJAH MURAM DESA
HUTAN
Desa hutan, begitu mereka menyebut
desa-desa yang berada di tepian hutan. Sebenarnya, desa itu sama saja
seperti desa-desa yang lainnya, kecuali secara geografis letaknya berbatasan
dengan hutan, atau bahkan berada di dalam hutan.
Desa hutan didefinisikan sebagai wilayah
desa yang secara geografis dan administratif berbatasan dengan kawasan hutan
atau di sekitar kawasan hutan. Sebagian besar desa hutan memiliki
ciri-ciri, aksesibilitas yang terbatas hampir di semua dimensi, baik
aksesibilitas terhadap informasi, pendidikan, teknologi, permodalan, pasar, dan
sumberdaya lainnya, pembangunannya tertinggal, letaknya berada di sepanjang
batas hutan, relatif lebih jauh dari pusat pemerintahan, pusat pendidikan dan
pusat pertumbuhan ekonomi, serta bercirikan areal pertanian tadah hujan.
Kondisi umum masyarakatnya memiliki
tingkat kesejahteraan yang relatif rendah, rata-rata pendapatan perkapita
rendah, berpendidikan rendah sehingga memiliki tingkat kualitas sumberdaya
manusia relatif rendah pula, dan mayoritas mata pencaharian masyarakatnya
adalah petani subsisten (berusaha tani hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
bukan atas pertimbangan pengembangan bisnis) dan buruh tani.
Ciri umum lainnya adalah daya dukung
infrastruktur yang terbatas. Jalan sebagai salah satu urat nadi perekonomian,
berada dalam kondisi yang tidak memadai, beberapa diantaranya tidak layak untuk
digunakan. Kondisi demikian membuat sebagian besar desa hutan berada
dalam keterisoliran dalam arti yang lebih luas.
Perpaduan karakteristik wilayah dan
kondisi masyarakat yang memiliki banyak sekali keterbatasan dan permasalahan,
berakibat pada upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa hutan menjadi
lebih sulit dan kompleks, dibandingkan dengan desa-desa lainnya. Kondisi
geografis memaksa mereka menerima beban hidup yang lebih besar dibanding
masyarakat desa lainnya. Pendapatan perkapita yang rendah, melahirkan
tingkat kesejahteraan yang rendah pula. Sementara itu, kebutuhan ekonomi terus
menerus menekan dengan kekuatan di luar batas pengendaliannya. Rata-rata pendapatan
dan rata-rata pengeluaran penduduk dalam satu keluarga dalam satu tahun menunjukan nilai minus, merupakan gambaran nyata kondisi
kesejahteraan masyarakat desa hutan.
Dukungan infrastruktur, khususnya jalan
sebagai nadi perekonomian desa, sangat tidak memadai. Lihat saja jalan
akses ke desa hutan, masih banyak yang, jangankan beraspal, berbatu koral pun
tidak. Kondisi itu membuat beban biaya transportasi semakin tinggi, yang
tentu saja sangat berpengaruh pula pada harga-harga bahan kebutuhan pokoknya.
Ujung-ujungnya, mereka harus membayar lebih tinggi untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidup sehari-harinya.
Demikian pula dengan kesempatan mereka
untuk meraih pendidikan yang lebih tinggi, membutuhkan energi dan biaya yang lebih
besar. Untuk melanjutkan ke tingkat SLTP saja, anak-anak desa hutan harus
membayar lebih karena mereka menanggung beban biaya transportasi atau biaya
pemondokan. Pasalnya, rata-rata SLTP selalu berada di ibu kota Kecamatan yang
jauhnya bisa sampai berpuluh kilometer. Jaringan listrik yang belum sampai ke desa hutan, semakin melengkapi keterbatasan aksesibilitas mereka
terhadap informasi, peluang pengembangan potensi sumber daya dan pembangunan
wilayahnya.
Kondisi tersebut diperparah dengan daya
dukung APBD bagi keuangan Pemerintahan Desa yang tidak memungkinkan untuk
melakukan percepatan pembangunan, termasuk membangun sarana transportasi yang
lebih memadai.
Sementara itu, mengandalkan swadaya masyarakatnya yang
tengah berada dalam kondisi serba sulit dan tekanan kebutuhan hidup
sehari-hari, jelas-jelas sangat tidak mungkin atau bahkan, termasuk mustahil.
Terdapat ketidak adilan distribusi APBD
terhadap masyarakat desa hutan. Salah satu contoh, distribusi dana Provisi
Sumberdaya Hutan (PSDH) yang diterima oleh Pemerintah Daerah, memiliki
prosentasi yang tidak proporsional bagi desa di sekitar hutan. Padahal,
berbagai literatur menunjukkan bahwa masyarakat desa hutan sesungguhnya
merupakan benteng yang sangat tangguh untuk membendung berbagai dampak negatif
kerusakan hutan, seperti penebangan ilegal (illegal logging), pencurian
keanekaragaman hayati dan plasma nutfah, serta perburuan hewan langka.
Berbagai praktek pengelolaan dan
pemanfaatan hutan yang dilakukan masyarakat desa hutan, terbukti adaftif
terhadap ekosistem hutan alam tropis. Sistem ekonomi yang tercermin dari
mata pencahariannya, institusi sosial yang mengatur tata hubungan dan interaksi
komunitas dengan sumber daya hutan, termasuk perkembangan teknologi pemanfaatan
sumber daya alamnya, berkembang sesuai dengan perkembangan sistem sosial,
ekonomi dan religiusitasnya (Agung Nugraha, 2005).
Alih-alih mendapat prioritas percepatan
pembangunan dan pemberdayaan, masyarakat desa hutan justru menerima kontribusi
hasil-hasil pembangunan yang lebih kecil dibanding masyarakat desa lainnya.
Lemahnya posisi tawar mereka dalam memperjuangkan hak-hak dan kepentingannya,
membuat kondisi tersebut berlangsung terus menerus, berlalu seiring perjalanan
waktu, menjadi sebuah pemahaman negatif bahwa itulah nasib yang harus mereka
terima. Maka tidaklah heran, bila kemudian kecepatan meningkatnya pendapatan
masyarakat desa hutan, berbanding terbalik dengan kecepatan meningkatnya
kebutuhan hidup yang harus dipenuhinya.
Diperbarui: November 2012
(Disadur dari berbagai sumber)
(Disadur dari berbagai sumber)
Oleh: Deddy Hermansjah, Ketua LSM “Raja Giri” Lumajang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar