Laman

Jumat, 31 Agustus 2012


PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM) 
SECERCAH HARAPAN PERUBAHAN
Pada sisi yang lain, sebuah perubahan paradigma tengah terjadi di rumah “tetangga dekatnya” Perum Perhutani, BUMN yang selama puluhan tahun berinteraksi dengan masyarakat desa hutan. Pasang surut interaksi keduanya tampak jelas dalam keberhasilan dan kegagalan berbagai program yang dijalankan sejak tahun 1970.
Sejak diluncurkan pada akhir 2001, PHBM sebagai sebuah sistem bergulir diantara keyakinan dan keraguan akan keberhasilannya.  Kondisi demikian sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasinya. Banyak pihak yang kurang memahami konsepsi yang sebenarnya dari PHBM.  Sampai saat ini, kurangnya pemahaman tersebut masih tampak, baik di kalangan internal aparatur Perum Perhutani maupun di kalangan eksternal.
Di kalangan internal, kesungguhan aparatur atau petugas Perhutani belum maksimal dan masih terdapat keraguan dan pertanyaan dalam mengimplementasikan PHBM sesuai dengan konsepsi yang sebenarnya.  Banyak hal yang menjadi penyebabnya, salah satu diantaranya adalah PHBM dipahami bukan sebagai sebuah sistem, akan tetapi sebagai sebuah program. Sebagian merasa khawatir bahwa PHBM akan bernasib sama dengan program-program yang pernah dimiliki oleh Perhutani sejak 1970 hingga 2001, yakni memiliki tingkat keberhasilan yang tidak optimal dan selalu berganti-ganti judul.  Apalagi, dalam PHBM ini Perhutani harus merelakan 25 % bagian hasil produksinya untuk diserahkan kepada masyarakat desa hutan.  Bahkan, ada pula kalangan internal yang memiliki phobia irasional yang memandang PHBM sebagai upaya membesarkan anak macan dan membahayakan eksistensi Perum Perhutani ke depan.
Sementara itu, bagi pihak eksternal PHBM masih terkesan program milik Perhutani, belum terbangun sebagai bagian integral dan internalisasi dalam sistem pembangunan hutan dan daerah secara umum.  Padahal, pemahaman internal dan eksternal ini justru merupakan titik kritis dari keberhasilan implementasi PHBM.
Dalam perjalanan saya di batas-batas hutan Jawa dan Madura sepanjang tahun 2006, saya melihat bahwa implementasi PHBM memiliki tingkat keberhasilan yang beragam.  Di satu daerah PHBM berdampak sangat mengagumkan bagi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa hutan. PHBM telah nyata-nyata memberikan kontribusi yang sangat besar bagi masyarakat di sekitar hutan dengan nilai konversi fisik lebih dari 2 Trilyun rupiah per tahun.  Belum termasuk nilai kemanfaatan ekologis yang tidak terukur.
Namun di daerah lainnya, PHBM berkembang sangat lambat dan bahkan ada pula yang “layu sebelum berkembang“.  Beberapa diantaranya, berada pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan dan terkesan dibiarkan untuk tidak tumbuh dan berkembang dengan baik.  Uniknya, perbedaan dampak yang ditimbulkan PHBM itu, selaras dengan tingkat pemahaman dan sinergi para pelakunya.
Saya meyakini bahwa desa hutan memiliki potensi yang sangat besar sebagai Jembatan Emas bagi tercapainya cita-cita Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.  Kata kuncinya adalah bagaimana membentuk sinergi multi pihak dalam mewujudkan keberhasilan implementasi PHBM.
Harus jujur diakui bahwa di beberapa tempat, implementasi PHBM telah menjadi stimulator bagi meningkatnya keberdayaan masyarakat desa hutan yang ditunjukkan dengan kemandirian dalam membangun sarana fisik maupun non fisik, berkembangnya kreativitas sosial dan ekonomi dalam berbagai sisi kehidupan masyarakat desa hutan, meningkatkan kemampuan memotret diri dan berjalannya proses kematangan demokrasi berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal serta terjaganya fungsi ekologis kelestarian dalam pengelolaan sumberdaya hutan.
Keberhasilan implementasi PHBM berpotensi untuk memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi upaya mewujudkan cita-cita bangsa dan negara, khususnya percepatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa hutan.  Sumbangan tersebut berupa munculnya 3 sumber energi sebagai dampak dari implementasi PHBM yakni, dana bagi hasil produksi, optimalisasi ruang kelola dan sinergi kelembagaan lintas sektoral.  Sumber energi tersebut seharusnya dapat digunakan masyarakat desa hutan dalam mewujudkan harapannya, memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Ibarat utas benang emas yang digunakan untuk merenda kesejahteraan di sepanjang batas hutan.

Medio Oktober 2012 (Disadur dari berbagai sumber)
Oleh: Deddy Hermansjah, Ketua LSM “Raja Giri” Lumajang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar