PERUBAHAN IKLIM MEWARISKAN KEMISKINAN DI DESA HUTAN
Rachmat Witoelar, Ketua Harian DNPI (Dewan Nasional
Perubahan Iklim), menegaskan bahwa dampak negatif perubahan iklim semakin nyata
dan terbukti telah menerpa di Indonesia .
Bukti dan dampak negatif tersebut telah disampaikan melalui the Indonesia Country Report on Climate Variability and Climate
Change yang disusun oleh para ahli dari berbagai sektor dan
institusi terkait, yang berisi ulasan analitis mengenai dampak perubahan iklim
di Indonesia.
Bukti-bukti tersebut sesuai
dengan hasil kajian secara global yang dilakukan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Menurutnya,
dampak-dampak tersebut memiliki tantangan terhadap pembangunan dalam aspek
lingkungan sosial dan ekonomi secara berkelanjutan, serta terhadap pencapaian
tujuan pembangungan Indonesia .
Sementara itu, Håkan Björkman, Country Director UNDP
Indonesia, mengatakan bahwa perubahan iklim mengacam usaha penanggulangan
kemiskinan di Indonesia dan pencapaian Target Pembangunan Milenium (Millennium
Development Goals – MDGs). Perubahan pola curah hujan akan mengurangi
ketersediaan air untuk irigasi dan sumber air bersih. Kemarau panjang dan
banjir akan menyebabkan gagal panen yang sangat berpengaruh terhadap sumber
penghidupan petani. Perubahan iklim akan paling mempengaruhi orang miskin dan
kelompok rentan lainnya yang bekerja pada bidang-bidang pertanian, wilayah
pesisir, sekitar hutan, serta wilayah perkotaan.
Perubahan iklim mengancam berbagai upaya Indonesia untuk
memerangi kemiskinan. Dampaknya dapat memperparah berbagai risiko dan
kerentanan yang dihadapi oleh rakyat miskin, serta menambah beban persoalan
yang sudah di luar kemampuan mereka untuk menghadapinya. Dengan demikian,
perubahan iklim menghambat upaya orang miskin untuk membangun kehidupan yang
lebih baik bagi diri sendiri dan keluarga mereka.
Dalam laporannya, Sisi Lain Perubahan Iklim (2007),
UNDP Indonesia menyebutkan, pengaruh perubahan iklim lebih berat menimpa
masyarakat paling miskin. Banyak di antara mereka mencari nafkah di bidang
pertanian atau perikanan sehingga sumber-sumber pendapatan mereka sangat
dipengaruhi oleh iklim. Apakah itu di perkotaan ataukah di pedesaan mereka pun
umumnya tinggal di daerah pinggiran yang rentan terhadap kemarau panjang,
misalnya, atau terhadap banjir dan longsor. Terlalu banyak atau terlalu sedikit
air merupakan ancaman utama perubahan iklim. Dan ketika bencana melanda mereka
nyaris tidak memiliki apapun untuk menghadapinya.
Global Humanitarian Forum di London, Inggris, pada bulan Mei
2009 telah melansir sebuah laporan yang diklaim sebagai laporan pertama
mengenai dampak perubahan iklim terhadap manusia secara global. Laporan
tersebut menyebutkan bahwa perubahan iklim global telah menewaskan 300.000 jiwa
setiap tahunnya. Kerugian yang ditimbulkan mencapai 125 miliar dollar Amerika
Serikat. Disebutkan pula bahwa 325 juta jiwa kaum miskin adalah yang paling
menderita.
Menurut Panel Ahli Antar pemerintah untuk Perubahan Iklim
atau IPCC (2007), kenaikan suhu 2 derajat Celsius akan menurunkan produksi
pertanian Cina dan Bangladesh sebesar tiga puluh persen pada 2050. IPCC
(2007) membuat dua skenario penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga tahun
2030. Pertama, suhu rata-rata global naik 2-2,4 derajat Celsius.
Ini dicapai dengan menstabilkan konsentrasi GRK pada tingkat 445-490 ppm. Kedua, kenaikan suhu rata-rata 3,2-4 derajat Celsius
dengan menjaga konsentrasi GRK antara 590-710 ppm. Skenario pertama mustahil
dicapai, karena tingkat GRK pada 2005 sudah 400-515 ppm.
Perpaduan antara meningkatnya suhu rata-rata, siklus
hidrologi yang terganggu sehingga menyebabkan musim kemarau lebih panjang dan
musim hujan yang lebih intensif namun lebih pendek, meningkatnya siklus anomali
musim kering dan hujan serta berkurangnya kelembaban tanah akan menganggu
sektor pertanian. Termasuk di Indonesia, para petani telah merasakan
ketidak teraturan iklim yang mengacaukan pola tanam mereka.
Curah hujan di beberapa wilayah di Indonesia
diprediksikan akan meningkat sekitar 2-3 persen per tahun. Di Jawa, Bali, NTB,
NTT, sebagian Sulawesi , Maluku dan Papua curah
hujan akan berkurang. Kecenderungan yang akan terjadi adalah musim kemarau
lebih panjang. Khusus di Pulau Jawa, perubahan musim akan sangat ekstrem dimana
musim hujan akan menjadi sangat basah dan musim kering akan menjadi sangat
kering dan lebih panjang. Hal ini menyebabkan Jawa menjadi rawan banjir dan
kekeringan. (BMKG, 2009).
Dalam beberapa tahun ini para petani di desa-desa di pulau
Jawa sudah membicarakan mengenai musim yang tidak normal. Kearifan kuno petani
padi mengenai urut-urutan musim tanam, pranata mangsa di
Jawa, Palontara di Sulawesi Selatan, dan banyak kearifan lainnya sudah
dikacaukan oleh perubahan iklim. Di sebagian besar wilayah di Sumatera selama
kurun waktu 1960-1990 dan 1991-2003, awal musim hujan kini menjadi terlambat 10
hingga 20 hari dan awal kemarau menjadi terlambat 10 hingga 60 hari.
Berbagai pergeseran serupa juga sudah dirasakan di pulau
Jawa. Pola-pola ini berpeluang untuk berlanjut. Di masa akan datang, sebagian
wilayah Indonesia, terutama wilayah yang terletak di sebelah selatan
katulistiwa, dapat mengalami musim kemarau yang lebih panjang dan musim hujan
yang lebih pendek tetapi dengan curah yang lebih tinggi dengan tipe perubahan
berpola. Di samping itu, iklim juga kemungkinan akan menjadi makin
berubah-ubah,dengan makin seringnya curah hujan yang tidak menentu. Suhu yang
lebih tinggi juga dapat mengeringkan tanah, mengurangi sumber air tanah,
mendegradasi lahan, dan dalam beberapa kasus dapat mengakibatkan penggurunan.
Perubahan iklim akan mempengaruhi hasil panen yang
kemungkinan besar akan berkurang disebabkan oleh semakin keringnya lahan akibat
musim kemarau yang lebih panjang. Pada skala yang ekstrem, berkurangnya hasil
panen dapat mengancam ketahanan pangan. Selain itu, kebutuhan irigasi pertanian
juga akan semakin meningkat namun disaat yang sama terjadi kekurangan air
bersih karena mencairnya es di kutub yang menyebabkan berkurangnya cadangan air
bersih dunia. Hal ini dapat berujung pada kegagalan panen berkepanjangan yang
juga menyebabkan pasokan pangan menjadi sangat tidak pasti.
Dampak perubahan iklim memang tengah terjadi dan dirasakah
oleh masyarakat dunia. Masalahnya, dampak itu tidak dibagi secara merata.
Rakyat miskin dan negara-negara miskin paling menderita karena rendahnya daya
adaptasi dan ketergantungan hidup mereka pada sumber daya alam yang rentan
perubahan iklim. Petani dan nelayan, termasuk dua pihak yang paling menderita.
Perubahan iklim menimbulkan periode musim hujan dan musim kemarau semakin
kacau, ketegangan konsumsi air untuk pertanian dan industri akan kian
meningkat. Tidak hanya produksi pangan menurun, pada saat yang sama, petani
akan jatuh miskin, tenaga kerja sektor pertanian menganggur, dan jumlah
penganggur meningkat. Arus urbanisasi tidak terbendung lagi. Ini akan
membiakkan kerawanan sosial dan masalah baru di kota . Yang paling mencemaskan adalah rapuhnya
kedaulatan pangan, lalu kita bergantung pada pangan impor yang menguras devisa.
Pewarisan Kemiskinan di Desa Hutan
CIFOR menyebutkan, hutan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan manusia yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan
dan masyarakat secara keseluruhan. Menurut Bank Dunia, lebih dari satu
milyar orang sangat tergantung pada hutan sebagai sumber kehidupan
mereka. Ratusan juta manusia juga bergantung pada bahan obat-obatan
tradisional yang berasal dari tumbuhan hutan.
Di Indonesia, masyarakat yang tinggal di dalam dan di
sekitar hutan, sebagian besar merupakan kelompok masyarakat miskin yang
kehidupannya sangat tergantung pada aksesibilitasnya terhadap kawasan
hutan. Alur sepanjang batas hutan, khususnya di Jawa dan Madura, dikenal
sebagai lumbung kemiskinan yang kemudian oleh sebagian orang dianggap sebagai
‘ancaman’ bagi kelestarian hutan disekitarnya.
Kemiskinan yang melingkupi masyarakat desa hutan nyaris
menjadi suatu pemandangan umum sepanjang masa. Pasalnya, kemiskinan ini
kemudian ‘diwariskan’ pada generasi berikutnya karena ketidakberdayaan untuk
merubah kesejahteraannya. Kemiskinan itu menyebabkan sumberdaya manusia
desa hutan, khususnya komunitas generasi muda, tidak memiliki bekal cukup untuk
bersaing dengan komunitas lainnya. Pendidikan dan kesehatan menjadi
kendala umum sebagai akibat dari kecilnya pendapatan masyarakat desa
hutan. Padahal pada satu sisi, kondisi geografis tempat tinggalnya
menyebabkan masyarakat desa hutan harus menanggung biaya hidup yang lebih
tinggi, harga sembilan bahan pokok menjadi lebih mahal karena faktor
transportasi.
Pola pewarisan kemiskinan tersebut akan semakin menguat dan
langgeng dengan adanya ancaman perubahan iklim. Pasalnya, semua dampak
dari perubahan iklim tersebut akan semakin memberatkan kehidupan masyarakat
desa hutan. Menurunnya pendapatan keluarga tani karena usaha taninya merugi,
akan diikuti oleh menurunnya daya beli dan kemampuan memenuhi kebutuhan hidup
minimum lainnya seperti pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan, yang berujung
pada menurunnya kualitas hidup dan tingkat kesejahteraannya. Termasuk, tidak
mampu mewariskan kehidupan yang lebih baik bagi generasi berikutnya.
Berdasarkan data Identifikasi Desa di Dalam dan di Sekitar
Kawasan Hutan (2009), di Jawa dan Madura terdapat 4.614 desa hutan (18,54 %
dari seluruh desa yang ada di P Jawa Madura minus DKI Jakarta). Sebanyak 366
desa berada di dalam kawasan hutan dan 4.248 desa yang berbatasan langsung
dengan hutan (Kementrian kehutanan menyebutnya berada di tepi kawasan
hutan). Sebesar 12,61 persen jumlah penduduk Jawa Madura (12,81
persen jumlah KK), tinggal di desa hutan dengan menempati areal seluas
4.186.892 hektar.
Data yang dikeluarkan oleh Kementrian Kehutanan RI tersebut
menyebutkan, 99,45 persen desa hutan yang berada di dalam kawasan hutan
dan 97,08 persen desa hutan yang berada di tepi kawasan hutan, sumber
penghasilan utama masyarakatnya adalah pertanian. Dan, 90,66 persen dari
usaha tani yang menjadi sumber pendapatan utama keluarganya itu merupakan usaha
tani tanaman pangan. Data ini dengan jelas menunjukan bahwa masyarakat
desa hutan adalah petani gurem yang tidak memiliki lahan pertanian dan
menggantungkan seluruh hidupnya dari usaha pertanian. Sektor
kehutanan sendiri hanya dijadikan sumber penghasilan utama oleh kurang dari 1
persen masyarakat desa hutan di Jawa dan Madura.
Data statistik itu pun dengan jelas memberikan gambaran
betapa masyarakat desa hutan akan menjadi semakin miskin dan terancam
kehidupannya, bila dugaan para pakar perubahan iklim benar adanya. Lebih
dari 90 persen masyarakat desa hutan di Jawa dan Madura ini tidak dapat lagi
menggantungkan hidupnya dari pertanian. Jika demikian, maka ancaman
lainnya – yang semoga saja disadari oleh para pemangku kepentingan, khususnya
pengelola hutan negara di Jawa dan Madura – akan semakin memperparah dampak
perubahan iklim tersebut. Ancaman semakin meluasnya deforestasi dan
degradasi hutan di tingkat akar rumput, konflik tenurial dan pelanggaran hukum
serta konflik-konflik lainnya yang terjadi karena dorongan pemenuhan kebutuhan
hidupnya.
Sayang sekali, sampai saat ini para pemangku kepentingan
yang terkait dengan isyu perubahan iklim ini, belum secara nyata serius
mengantisipasi dan memberikan perhatian penuh kepada masyarakat desa hutan.
Terkait dengan hal tersebut, pada tataran nasional,
khususnya terkait dengan perubahan iklim di Indonesia , banyak pihak tidak
menyadari bahwa masyarakat desa hutan memiliki posisi yang sangat
strategis. Ilmuwan memperkirakan bahwa emisi yang ditimbulkan oleh
deforestasi dan degradasi hutan mencapai sekitar 20 % dari seluruh emisi gas
rumah kaca (GRK) per tahun. Jumlah ini lebih besar dari emisi yang
dikeluarkan oleh sektor transportasi secara global. Dan, fakta menunjukan
adanya korelasi antara kemiskinan masyarakat desa hutan dengan praktik illegal
logging yang terjadi.
Benar kiranya pendapat para ahli bahwa upaya pengurangan
emisi carbon dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) tidak akan effektif
tanpa keseriusan melibatkan masyarakat desa hutan dalam implementasinya.
Tidaklah berlebihan jika saya katakan bahwa, upaya serius untuk melakukan
pemberdayaan masyarakat desa hutan, khususnya kelompok perempuan dan taruna
desa hutan, tidak saja digolongkan sebagai upaya untuk menanggulangi kemiskinan
di sepanjang batas hutan, namun juga termasuk salah satu bentuk usaha
mengurangi emisi karbon (mitigasi) melalui pencegahan illegal loging serta
peningkatan penyerapan dan penyimpanan karbon oleh ekosistem hutan. Upaya
ini sering disebut sebagai REDD (Reducing emissions from
deforestation and forest degradation) atau pengurangan emisi dari
deforestasi dan degradasi hutan.
Dalam upaya mewujudkan hal tersebut, maka Komunitas
Masyarakat Desa Hutan perlu didorong untuk dapat berperan aktif dan terdepan
dalam 3 pilar aktivitas, yaitu :
1.
Pengembangan sumberdaya
manusia masyarakat desa hutan, melalui pendidikan dan pelatihan;
2.
Pengembangan ekonomi
kreatif desa hutan melalui penguatan modal dan jejaring pasar;
3.
Propaganda penyadaran
perubahan iklim di Indonesia .
Melalui 3 pilar aktivitas tersebut dan dilakukan
sebagai sebuah gerakan yang dapat mewujudkan harapan sekitar 20 juta orang di
sepanjang batas untuk terciptanya Hutan Lestari, masyarakat Desa Hutan
Sejahtera.
Semoga.
Medio Oktober 2012 (Disadur dari berbagai
sumber)
Oleh: Deddy Hermansjah, Ketua LSM
“Raja Giri” Lumajang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar