Laman

Jumat, 31 Agustus 2012


PERUBAHAN IKLIM MEWARISKAN KEMISKINAN DI DESA HUTAN
Rachmat Witoelar, Ketua Harian DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim), menegaskan bahwa dampak negatif perubahan iklim semakin nyata dan terbukti telah menerpa di Indonesia.  Bukti dan dampak negatif tersebut telah disampaikan melalui the Indonesia Country Report on Climate Variability and Climate Change yang disusun oleh para ahli dari berbagai sektor dan institusi terkait, yang berisi ulasan analitis mengenai dampak perubahan iklim di Indonesia.
Bukti-bukti tersebut sesuai dengan hasil kajian secara global yang dilakukan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).  Menurutnya, dampak-dampak tersebut memiliki tantangan terhadap pembangunan dalam aspek lingkungan sosial dan ekonomi secara berkelanjutan, serta terhadap pencapaian tujuan pembangungan Indonesia.
Sementara itu, Håkan Björkman, Country Director UNDP Indonesia, mengatakan bahwa perubahan iklim mengacam usaha penanggulangan kemiskinan di Indonesia dan pencapaian Target Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals – MDGs). Perubahan pola curah hujan akan mengurangi ketersediaan air untuk irigasi dan sumber air bersih. Kemarau panjang dan banjir akan menyebabkan gagal panen yang sangat berpengaruh terhadap sumber penghidupan petani. Perubahan iklim akan paling mempengaruhi orang miskin dan kelompok rentan lainnya yang bekerja pada bidang-bidang pertanian, wilayah pesisir, sekitar hutan, serta wilayah perkotaan.
Perubahan iklim mengancam berbagai upaya Indonesia untuk memerangi kemiskinan. Dampaknya dapat memperparah berbagai risiko dan kerentanan yang dihadapi oleh rakyat miskin, serta menambah beban persoalan yang sudah di luar kemampuan mereka untuk menghadapinya. Dengan demikian, perubahan iklim menghambat upaya orang miskin untuk membangun kehidupan yang lebih baik bagi diri sendiri dan keluarga mereka.
Dalam laporannya, Sisi Lain Perubahan Iklim  (2007), UNDP Indonesia menyebutkan, pengaruh perubahan iklim lebih berat menimpa masyarakat paling miskin. Banyak di antara mereka mencari nafkah di bidang pertanian atau perikanan sehingga sumber-sumber pendapatan mereka sangat dipengaruhi oleh iklim. Apakah itu di perkotaan ataukah di pedesaan mereka pun umumnya tinggal di daerah pinggiran yang rentan terhadap kemarau panjang, misalnya, atau terhadap banjir dan longsor. Terlalu banyak atau terlalu sedikit air merupakan ancaman utama perubahan iklim. Dan ketika bencana melanda mereka nyaris tidak memiliki apapun untuk menghadapinya.
Global Humanitarian Forum di London, Inggris, pada bulan Mei 2009 telah melansir sebuah laporan yang diklaim sebagai laporan pertama mengenai dampak perubahan iklim terhadap manusia secara global. Laporan tersebut menyebutkan bahwa perubahan iklim global telah menewaskan 300.000 jiwa setiap tahunnya. Kerugian yang ditimbulkan mencapai 125 miliar dollar Amerika Serikat. Disebutkan pula bahwa 325 juta jiwa kaum miskin adalah yang paling menderita.
Menurut Panel Ahli Antar pemerintah untuk Perubahan Iklim atau IPCC (2007), kenaikan suhu 2 derajat Celsius akan menurunkan produksi pertanian Cina dan Bangladesh sebesar tiga puluh persen pada 2050.  IPCC (2007) membuat dua skenario penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga tahun 2030. Pertama, suhu rata-rata global naik 2-2,4 derajat Celsius. Ini dicapai dengan menstabilkan konsentrasi GRK pada tingkat 445-490 ppm. Kedua, kenaikan suhu rata-rata 3,2-4 derajat Celsius dengan menjaga konsentrasi GRK antara 590-710 ppm. Skenario pertama mustahil dicapai, karena tingkat GRK pada 2005 sudah 400-515 ppm.
Perpaduan antara meningkatnya suhu rata-rata, siklus hidrologi yang terganggu sehingga menyebabkan musim kemarau lebih panjang dan musim hujan yang lebih intensif namun lebih pendek, meningkatnya siklus anomali musim kering dan hujan serta berkurangnya kelembaban tanah akan menganggu sektor pertanian.  Termasuk di Indonesia, para petani telah merasakan ketidak teraturan iklim yang mengacaukan pola tanam mereka.
Curah hujan di beberapa wilayah di Indonesia diprediksikan akan meningkat sekitar 2-3 persen per tahun. Di Jawa, Bali, NTB, NTT, sebagian Sulawesi, Maluku dan Papua curah hujan akan berkurang. Kecenderungan yang akan terjadi adalah musim kemarau lebih panjang. Khusus di Pulau Jawa, perubahan musim akan sangat ekstrem dimana musim hujan akan menjadi sangat basah dan musim kering akan menjadi sangat kering dan lebih panjang. Hal ini menyebabkan Jawa menjadi rawan banjir dan kekeringan. (BMKG, 2009).
Dalam beberapa tahun ini para petani di desa-desa di pulau Jawa sudah membicarakan mengenai musim yang tidak normal. Kearifan kuno petani padi mengenai urut-urutan musim tanam, pranata mangsa di Jawa, Palontara di Sulawesi Selatan, dan banyak kearifan lainnya sudah dikacaukan oleh perubahan iklim. Di sebagian besar wilayah di Sumatera selama kurun waktu 1960-1990 dan 1991-2003, awal musim hujan kini menjadi terlambat 10 hingga 20 hari dan awal kemarau menjadi terlambat 10 hingga 60 hari.
Berbagai pergeseran serupa juga sudah dirasakan di pulau Jawa. Pola-pola ini berpeluang untuk berlanjut. Di masa akan datang, sebagian wilayah Indonesia, terutama wilayah yang terletak di sebelah selatan katulistiwa, dapat mengalami musim kemarau yang lebih panjang dan musim hujan yang lebih pendek tetapi dengan curah yang lebih tinggi dengan tipe perubahan berpola. Di samping itu, iklim juga kemungkinan akan menjadi makin berubah-ubah,dengan makin seringnya curah hujan yang tidak menentu. Suhu yang lebih tinggi juga dapat mengeringkan tanah, mengurangi sumber air tanah, mendegradasi lahan, dan dalam beberapa kasus dapat mengakibatkan penggurunan.
Perubahan iklim akan mempengaruhi hasil panen yang kemungkinan besar akan berkurang disebabkan oleh semakin keringnya lahan akibat musim kemarau yang lebih panjang. Pada skala yang ekstrem, berkurangnya hasil panen dapat mengancam ketahanan pangan. Selain itu, kebutuhan irigasi pertanian juga akan semakin meningkat namun disaat yang sama terjadi kekurangan air bersih karena mencairnya es di kutub yang menyebabkan berkurangnya cadangan air bersih dunia. Hal ini dapat berujung pada kegagalan panen berkepanjangan yang juga menyebabkan pasokan pangan menjadi sangat tidak pasti.
Dampak perubahan iklim memang tengah terjadi dan dirasakah oleh masyarakat dunia. Masalahnya, dampak itu tidak dibagi secara merata. Rakyat miskin dan negara-negara miskin paling menderita karena rendahnya daya adaptasi dan ketergantungan hidup mereka pada sumber daya alam yang rentan perubahan iklim. Petani dan nelayan, termasuk dua pihak yang paling menderita. Perubahan iklim menimbulkan periode musim hujan dan musim kemarau semakin kacau, ketegangan konsumsi air untuk pertanian dan industri akan kian meningkat. Tidak hanya produksi pangan menurun, pada saat yang sama, petani akan jatuh miskin, tenaga kerja sektor pertanian menganggur, dan jumlah penganggur meningkat. Arus urbanisasi tidak terbendung lagi. Ini akan membiakkan kerawanan sosial dan masalah baru di kota. Yang paling mencemaskan adalah rapuhnya kedaulatan pangan, lalu kita bergantung pada pangan impor yang menguras devisa.
Pewarisan Kemiskinan di Desa Hutan
CIFOR menyebutkan, hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan dan masyarakat secara keseluruhan.  Menurut Bank Dunia, lebih dari satu milyar orang sangat tergantung pada hutan sebagai sumber kehidupan mereka.  Ratusan juta manusia juga bergantung pada bahan obat-obatan tradisional yang berasal dari tumbuhan hutan.
Di Indonesia, masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan, sebagian besar merupakan kelompok masyarakat miskin yang kehidupannya sangat tergantung pada aksesibilitasnya terhadap kawasan hutan.  Alur sepanjang batas hutan, khususnya di Jawa dan Madura, dikenal sebagai lumbung kemiskinan yang kemudian oleh sebagian orang dianggap sebagai ‘ancaman’ bagi kelestarian hutan disekitarnya.
Kemiskinan yang melingkupi masyarakat desa hutan nyaris menjadi suatu pemandangan umum sepanjang masa.  Pasalnya, kemiskinan ini kemudian ‘diwariskan’ pada generasi berikutnya karena ketidakberdayaan untuk merubah kesejahteraannya.  Kemiskinan itu menyebabkan sumberdaya manusia desa hutan, khususnya komunitas generasi muda, tidak memiliki bekal cukup untuk bersaing dengan komunitas lainnya.  Pendidikan dan kesehatan menjadi kendala umum sebagai akibat dari kecilnya pendapatan masyarakat desa hutan.  Padahal pada satu sisi, kondisi geografis tempat tinggalnya menyebabkan masyarakat desa hutan harus menanggung biaya hidup yang lebih tinggi, harga sembilan bahan pokok menjadi lebih mahal karena faktor transportasi.
Pola pewarisan kemiskinan tersebut akan semakin menguat dan langgeng dengan adanya ancaman perubahan iklim.  Pasalnya, semua dampak dari perubahan iklim tersebut akan semakin memberatkan kehidupan masyarakat desa hutan.  Menurunnya pendapatan keluarga tani karena usaha taninya merugi, akan diikuti oleh menurunnya daya beli dan kemampuan memenuhi kebutuhan hidup minimum lainnya seperti pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan, yang berujung pada menurunnya kualitas hidup dan tingkat kesejahteraannya. Termasuk, tidak mampu mewariskan kehidupan yang lebih baik bagi generasi berikutnya.
Berdasarkan data Identifikasi Desa di Dalam dan di Sekitar Kawasan Hutan (2009), di Jawa dan Madura terdapat 4.614 desa hutan (18,54 % dari seluruh desa yang ada di P Jawa Madura minus DKI Jakarta). Sebanyak 366 desa berada di dalam kawasan hutan dan 4.248 desa yang berbatasan langsung dengan hutan (Kementrian kehutanan menyebutnya berada di tepi kawasan hutan).   Sebesar 12,61 persen jumlah penduduk Jawa Madura (12,81 persen jumlah KK), tinggal di desa hutan dengan menempati areal seluas 4.186.892 hektar.
Data yang dikeluarkan oleh Kementrian Kehutanan RI tersebut menyebutkan, 99,45 persen  desa hutan yang berada di dalam kawasan hutan dan 97,08 persen desa hutan yang berada di tepi kawasan hutan, sumber penghasilan utama masyarakatnya adalah pertanian.  Dan, 90,66 persen dari usaha tani yang menjadi sumber pendapatan utama keluarganya itu merupakan usaha tani tanaman pangan.  Data ini dengan jelas menunjukan bahwa masyarakat desa hutan adalah petani gurem yang tidak memiliki lahan pertanian dan menggantungkan seluruh hidupnya dari usaha pertanian.   Sektor kehutanan sendiri hanya dijadikan sumber penghasilan utama oleh kurang dari 1 persen masyarakat desa hutan di Jawa dan Madura.
Data statistik itu pun dengan jelas memberikan gambaran betapa masyarakat desa hutan akan menjadi semakin miskin dan terancam kehidupannya, bila dugaan para pakar perubahan iklim benar adanya.  Lebih dari 90 persen masyarakat desa hutan di Jawa dan Madura ini tidak dapat lagi menggantungkan hidupnya dari pertanian.  Jika demikian, maka ancaman lainnya – yang semoga saja disadari oleh para pemangku kepentingan, khususnya pengelola hutan negara di Jawa dan Madura – akan semakin memperparah dampak perubahan iklim tersebut.  Ancaman semakin meluasnya deforestasi dan degradasi hutan di tingkat akar rumput, konflik tenurial dan pelanggaran hukum serta konflik-konflik lainnya yang terjadi karena dorongan pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Sayang sekali, sampai saat ini para pemangku kepentingan yang terkait dengan isyu perubahan iklim ini, belum secara nyata serius mengantisipasi dan memberikan perhatian penuh kepada masyarakat desa hutan.
Terkait dengan hal tersebut, pada tataran nasional, khususnya terkait dengan perubahan iklim di Indonesia, banyak pihak tidak menyadari bahwa masyarakat desa hutan memiliki posisi yang sangat strategis.  Ilmuwan memperkirakan bahwa emisi yang ditimbulkan oleh deforestasi dan degradasi hutan mencapai sekitar 20 % dari seluruh emisi gas rumah kaca (GRK) per tahun.  Jumlah ini lebih besar dari emisi yang dikeluarkan oleh sektor transportasi secara global.  Dan, fakta menunjukan adanya korelasi antara kemiskinan masyarakat desa hutan dengan praktik illegal logging yang terjadi.
Benar kiranya pendapat para ahli bahwa upaya pengurangan emisi carbon dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) tidak akan effektif tanpa keseriusan melibatkan masyarakat desa hutan dalam implementasinya. Tidaklah berlebihan jika saya katakan bahwa, upaya serius untuk melakukan pemberdayaan masyarakat desa hutan, khususnya kelompok perempuan dan taruna desa hutan, tidak saja digolongkan sebagai upaya untuk menanggulangi kemiskinan di sepanjang batas hutan, namun juga termasuk salah satu bentuk usaha mengurangi emisi karbon (mitigasi) melalui pencegahan illegal loging serta peningkatan penyerapan dan penyimpanan karbon oleh ekosistem hutan.  Upaya ini sering disebut sebagai REDD (Reducing emissions from deforestation and forest degradation) atau pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.
Dalam upaya mewujudkan hal tersebut, maka Komunitas Masyarakat Desa Hutan perlu didorong untuk dapat berperan aktif dan terdepan dalam 3 pilar aktivitas, yaitu :
1.      Pengembangan sumberdaya manusia masyarakat desa hutan, melalui pendidikan dan pelatihan;
2.      Pengembangan ekonomi kreatif desa hutan melalui penguatan modal dan jejaring pasar;
3.      Propaganda penyadaran perubahan iklim di Indonesia.
Melalui  3 pilar aktivitas tersebut dan dilakukan sebagai sebuah gerakan yang dapat mewujudkan harapan sekitar 20 juta orang di sepanjang batas untuk terciptanya Hutan Lestari, masyarakat Desa Hutan Sejahtera.
Semoga.

Medio Oktober  2012 (Disadur dari berbagai sumber)
Oleh: Deddy Hermansjah, Ketua LSM “Raja Giri” Lumajang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar